Salah satu permasalahan energi nasional yang menjadi fokus perhatian pemerintah adalah masih tingginya tingkat intensitas energi (energy intensity) nasional. Tingkat intensitas energi, yang dihitung dengan membagi volume penggunaan energi nasinoal (Ton Oil Equivalent) dengan nilai Produk Domestik Bruto (juta USD), merupakan salah satu indeks makro yang menyatakan seberapa efisien pemanfaatan energi di suatu negara untuk menghasilkan nilai tambah ekonominya. Berdasarkan studi JICA nilai indeks intensitas energi nasional, sejak tahun 2000 sampai dengan 2005, berkisar antara 631 738 ToE/Mill-USD [JICA, 2007].
Nilai ini dinilai tinggi jika dibandingkan dengan, misalnya Jepang: 115, Singapore: 240, Malaysia: 456, Inggris: 110, Jerman: 127 dan Amerika Serikat: 199 [IEEJ, 2007]. Adanya selisih yang cukup siginifikan ini menunjukkan bahwa penggunaan energi di Indonesia masih boros. Bahkan dibandingkan dengan negeri tetangga kita, Malaysia, nilai intensitas energi kita masih 30% lebih tinggi.
Tingginya intensitas energi nasional terkait dengan pemanfaatan energi yang belum efisien. Hal ini dapat dengan mudah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Di pusat-pusat peberlanjaan atau di gedung-gedung perkantoran, misalnya, dapat dengan mudah kita lihat penggunaan pencahayaan yang berlebihan, atau pengaturan suhu ruangan yang terlalu dingin, atau pemborosan dengan menyalakan listrik peralatan yang tidak digunakan. Di sektor transportasi, kemacetan di jalanan menjadi sumber pemborosan bahan bakar yang luar biasa, terlalu banyaknya jumlah angkutan umum dibandingkan dengan penumpang yang diangkut (akibatnya banyak angkot yang hilir mudik dengan hanya 1-2 penumpang di dalamnya, atau seringkali “ngetem” hanya untuk mencari penumpang).
Pemborosan energi, khususnya di Indonesia, memang lebih banyak disebabkan karena pola penggunaan yang belum efisien atau lebih terkait dengan budaya dan gaya hidup masyarakat. Namun sebenarnya banyak sekali teknologi yang dapat diterapkan untuk mengubah atau meminimalisir gaya hidup yang boros energi, sebagaimana terjadi di Indonesia. Dan rekayasa material melalui nanoteknologi menjadi sangat penting di sini.
Salah satu permasalahan energi nasional yang menjadi fokus perhatian pemerintah adalah masih tingginya tingkat intensitas energi (energy intensity) nasional. Tingkat intensitas energi, yang dihitung dengan membagi volume penggunaan energi nasinoal (Ton Oil Equivalent) dengan nilai Produk Domestik Bruto (juta USD), merupakan salah satu indeks makro yang menyatakan seberapa efisien pemanfaatan energi di suatu negara untuk menghasilkan nilai tambah ekonominya. Berdasarkan studi JICA nilai indeks intensitas energi nasional, sejak tahun 2000 sampai dengan 2005, berkisar antara 631 738 ToE/Mill-USD [JICA, 2007]. Nilai ini dinilai tinggi jika dibandingkan dengan, misalnya Jepang: 115, Singapore: 240, Malaysia: 456, Inggris: 110, Jerman: 127 dan Amerika Serikat: 199 [IEEJ, 2007]. Adanya selisih yang cukup siginifikan ini menunjukkan bahwa penggunaan energi di Indonesia masih boros. Bahkan dibandingkan dengan negeri tetangga kita, Malaysia, nilai intensitas energi kita masih 30% lebih tinggi.
Tingginya intensitas energi nasional terkait dengan pemanfaatan energi yang belum efisien. Hal ini dapat dengan mudah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Di pusat-pusat peberlanjaan atau di gedung-gedung perkantoran, misalnya, dapat dengan mudah kita lihat penggunaan pencahayaan yang berlebihan, atau pengaturan suhu ruangan yang terlalu dingin, atau pemborosan dengan menyalakan listrik peralatan yang tidak digunakan. Di sektor transportasi, kemacetan di jalanan menjadi sumber pemborosan bahan bakar yang luar biasa, terlalu banyaknya jumlah angkutan umum dibandingkan dengan penumpang yang diangkut (akibatnya banyak angkot yang hilir mudik dengan hanya 1-2 penumpang di dalamnya, atau seringkali “ngetem” hanya untuk mencari penumpang).
Pemborosan energi, khususnya di Indonesia, memang lebih banyak disebabkan karena pola penggunaan yang belum efisien atau lebih terkait dengan budaya dan gaya hidup masyarakat. Namun sebenarnya banyak sekali teknologi yang dapat diterapkan untuk mengubah atau meminimalisir gaya hidup yang boros energi, sebagaimana terjadi di Indonesia. Dan rekayasa material melalui nanoteknologi menjadi sangat penting di sini.
Keunggulan
1. Rekayasa material dengan nanoteknologi melahirkan material-material baru yang bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi pemakaian energi.
2. Pengembangan teknologi nano di sektor energi menjadi salah satu kunci untuk pemanfaatan energi yang efisien dan sekaligus menjadi sumber pertumbuhan dan pengembangan industri nasional.
Potensi Aplikasi
Material nano tersebut dapat diaplikasikan di segala sektor, mulai dari sektor industri, bangunan maupun transportasi.
sumber : http://nano.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=108&Itemid=33